Journey

Hidup ini kaya ikan salmon. Kita akan terus mengalami perpindahan. Raditya Dika
Pecah suara tangisan, waktu kali pertama manusia dilahirkan ke muka bumi ini. Tanpa sehelai pakaianpun menempel pada tubuh kita. Lalu kita tumbuh dan berkembang, merangkak, berjalan, berlari sampai tiba saatnya kita menjadi manusia manusia berseragam. Dan di sinilah, episode demi episode kehidupan berjalan.
 .... 
Episode 1, Permulaan Kehidupan Ini kali pertamanya kita menjalin hubungan sosial sesama manusia. Mengenal satu sama lain, dari lain wilayah, bukan lagi tetangga sepermainan. Mengenal sosok Ibu baru yang hanya kita temui beberapa jam saja dalam satu hari. Pertama kali bersentuhan dengan pensil, bermain warna dengan crayon, merealisasikan imajinasi imajinasi liar pun sederhana. Sesederhana dua gunung yang di tengah tengahnya matahari bersinar, Pak Tani yang berjalan membawa cangkul, sungai yang mengalir tenang dengan ikan ikan kecil di dalamnya. Percayalah, itulah masa pencapaian terbaik pada masanya. Bahkan, di episode permulaan kehidupanku itu aku berhasil menyimpan kenangan berupa prestasi menjadi juara lomba menggambar di tingkat kabupaten. Hari hariku dipenuhi dengan kapur. Ya, kapur warna warni, pada jaman dulu crayon tak sebanyak hari ini. Belum banyak White Board, apalagi di sekolah sekolah terpencil seperti sekolahku. Di sekolah kami masih terampil menggunakan kapur untuk menulis di papan tulis. Mungkin, orang orang berpikir kelak, aku akan menjadi seorang pelukis. Kelak. Adalah sebuah kata yang selalu menjadi misteri bagi manusia. Dengan segala perhitungan termatang sekalipun, kita tak akan bisa mengintip apa yang akan terjadi di kemudian hari. 

Episode 2 Merah Putih, berapi api! Hari demi hari, musim penghujan masih rutin turun setiap 6 bulan dari 12 bulan yang aku temui. Lambat laun, aku berhenti menggambar. Aku mulai menyukai hal baru. Aku mulai mengenal huruf huruf alphabet. Aku mengeja huruf demi huruf yang merangkai nama ku. Sanusi Pane. Darinya, episode kehidupan baru dimulai. Dimana aku mulai tertarik untuk membaca pada hal hal yang sebenarnya belum dapat aku mengerti sepenuhnya. Hanya satu hal yang selalu ku ingat tentangnya, tentang sebuah penyesalan yang akan kita dapatkan kelak, jika hari ini kita habiskan untuk hal hal yang melulu soal kesenangan semata. Kata demi kata tersusun rapi menjadi sebuah kalimat. Terstruktur dan runtut menerangkan kronologi suatu peristiwa. Menceritakan kehidupan yang tak sebenarnya namun kerap terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Sastra. Aku telah jatuh Cinta, bahkan sejak kali pertama saat aku tak tahu siapa namanya. Bagaimana wujudnya. Selamat datang, episode perkenalan.

Episode 3 Putih, navy yang membosankan. Diawali dengan kejadian yang tidak begitu menyenangkan. Hari pertama masuk saja, aku sudah membuat kesalahan. Terlambat. Jangan sekali kali datang terlambat di acara terpenting dalam kehidupanmu. Oh tidak, rupanya hari itulah yang membawaku sampai sekarang ini. Kata orang, ketika kita sedang jatuh Cinta menulis adalah hal yang paling mudah. Seolah semesta menjadi diksi yang menyuarakan rindu dalam bait puisinya. Namanya Beni, berkat Sanusi Pane aku mengenal apa itu Sastra. Puisi. Hanya itu yang aku tahu. Tapi Beni membuatku menyelami apa itu Sastra lebih dalam lagi. Lebih dari sekedar puisi puisi romantis Kahlil Gibran. Aku mulai tahu siapa Ahmad Tohari, N. H Dini. Meski aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Padahal aku selalu menyambangi mereka di sudut ruang perpustakaan yang sepi itu. Minat baca orang orang di sekitarku selalu kurang. Hari hari terasa membosankan. Karena Beni tak pernah datang menyapaku lagi, dan kita saling bermusuhan. Dari kelas satu sampai kelas tiga, hanya sekali waktu dia menyapaku kembali. Mungkin agar aku mau memberikannya contekan saat ujian tiba, tapi bahkan kita tidak akan berada di ruang yang sama. Apapun itu alasannya, aku senang Beni kembali menyapaku. Penghujung dari sebuah permulaan, seorang guru yang tegas, berkelas dan menginspirasi. Bu Wahyu, guru bahasa Inggrisku yang katanya galak. Bu Wahyu bilang, jangan jadi biasa saja. Beranilah bermimpi. Bacalah buku, lihatlah di luar sana ada apa. Bu Wahyu bicara tentang Oprah, perempuan kulit hitam yang punya satu acara besar di Amerika. Ditayangkan di TV. Aku kagum padanya. Tentang Laskar Pelangi dan Andrea Hirata, Bu Wahyu juga pernah membicarakannya. Dan sampai hari ini, aku pengagum tulisan Andrea Hirata, tidak aku lebih senang menyebutnya Pak Cik. Sastra. Lebih luas dari sekedar Puisi Aku Chairil Anwar, dan Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari.

Episode 4 Putih Abu Abu yang Menyenangkan Banyak yang terjadi. Banyak hal yang kualami. Banyak orang yang ku temui. Aku masih menjadi si perempuan yang selalu duduk di tengah ruangan perpustakaan yang ramai. Tapi sepi. Sepi pembaca, ramai penggosip. Katanya Ibu Perpus galak, tapi dia baik padaku. Tulisanku pernah dibilangnya Bagus dan disimpan di perpus sekolah. Cari saja, pasti ada namaku di salah satu rak buku yang sebentar lagi reyot itu. Judulnya Penantian. Cinta. Satu hal yang dulu salah aku tafsirkan. Tak ingin ku bicarakan banyak hal tentangnya. Putih Abu Abu. Karakterku terbentuk. Berkat orang orang hebat, yang hari ini tetap hebat. Mr Anjas. Dia keren sekali. Hari ini, dia akan menjadi mhs LPDP. Aku bangga pernah menjadi siswanya. Darinya aku belajar, beranilah bermimpi. Bu Puji. Aku harus kaya. Itu yang selalu dibicarakan Bu Puji di sela sela pelajaran biologi. Lagi lagi tentang mimpi, dan satu hal lagi: harus keluar dari zona nyaman. Maksudku, harus berani keluar dari zona nyaman. Jangan hanya tahu sekolah, main, pulang tidur. Monoton sekali. Riyan, ku pikir dia tengil. Tapi dia pintar, selalu berapi api. Mempunyai jiwa pemimpin. Ya, pada akhirnya dia menjadi ketua Osis. Tidak sampai di situ, dia juga pernah menjabat sebagai ketua himpunan di jurusannya. Sejak dulu, aku selalu memandangnya mirip perempuan. Baik dari segi perilaku dan hal lainnya. Sepertinya dia menyukai warna Pink, meski klub sepak bola favoritnya berwarna biru. Sama sepertiku. Riyan selalu menjadi idola perempuan. Mungkin karena dia kharismatik. Aku tahu perjuangannya, sebelum dia menjadi Supervisor seperti hari ini. Katanya, aku harus yakin pada satu hal yang akan aku ambil. Dan benar, hari ini akan aku tulis karenanya lah aku menulis. Setidaknya, tidak lagi menjadi budak corporate yang hanya duduk diam menunggu perintah. Passion? Apa itu. Aku hanya suka menulis. Titik. Ndika. Si cerewet ini sering adu mulut denganku. Tapi pada dasarnya dia benar. Aku mengakuinya. Tapi tidak di depan mukanya nanti dia besar kepala. Dia realistis. Sosok penengah yang baik sebenarnya, kalau tidak sedang cerewet. Mirip Riyan. Sangat mudah menarik hati wanita, padahal dia juga seperti perempuan. Tapi dia juga baik. Selalu siaga. Banyak hal yang sudah dia lalui, banyak hal yang sudah dia alami, banyak tempat yang sudah dia sambangi, sampai akhirnya hari ini. Dia mensyukuri apa yang dia dapat, sesuai dengan yang diharapkan. Ya perlahan. Semua akan Indah pada waktunya,katanya. Adi. Si konyol ini. Selalu menghibur. Tubuhnya paling tinggi dari kami berempat. Kakinya panjang, langkahnya juga panjang. Rejekinya juga panjang, dengan perjuangan yang juga panjang. Jangan salah, dia tidak seperti Riyan dan Ndika. Dia laki laki tulen. Atlit karate. Sosok yang tidak mudah menyerah dan putus asa. Sebelum hari ini, dia menjadi manusia berseragam. Yang dihormati dan disegani orang banyak. Mungkin sesekali dia menangis, jauh di sana, tanpa orang tua, saudara dan sahabat sahabatnya. Ali. Haruskah ku tulis tentangnya? Mungkin bebebrapa kalimat saja. Dia laki laki taat agama, yang tak pernah lelah belajar di pesantren. Cukup Ovie. Bahkan aku mengenalnya sama seperti Beni. Yang tidak pernah jauh. Yang tidak pernah berhenti menyemangati. Selalu menjadi pendengar yang baik. Hobinya makan, hari ini dia masih harus berjuang. Aku mendukungnya. Selalu. Mendoakan yang terbaik, aku yakin sebentar lagipun dia akan menjadi apa yang dia mau. Kira kira, itulah sebagian orang yang aku temui di episode pertengahan kehidupanku. Atau permulaan? Jika usiaku baru belasan tahun, dan hari ini menjadi puluhan tahun. Lalu aku? Aku adalah aku. Mudah dipengaruhi, oleh chairil, oleh Gie, oleh Pram, oleh Bu Puji, oleh Bu Wahyu. Aku adalah manusia yang selalu di persimpangan jalan, tapi aku memiliki orang orang yang pada akhirnya meyakinkan. Aku selalu menjadi yang paling biasa saja diantara mereka yang hebat. Tidak paling pintar di sekolah, tidak paling baik pekerjaannya di kantor, aku selalu menjadi sosok yang melihat. Ada orang menyebutnya silent reader. Ya. Akulah dia, si kuli tinta. Selamat datang, kehidupan 

Episode 5 Welcome to the Jungle. Setelah lulus kuliah, mau jadi apa? Besok bangun pagi mau ngapain? Kata Pak Rektor satu tahun yang lalu. Aku tidak menjawab tapi bingung dalam hati. Jangan sampai jadi beban negara, menjadi pengangguran. Tapi di situlah perjuangan, yang juga dirasakan Riyan sebelum jadi Supervisor, Ndika sebelum jadi IT, Adi sebelum jadi Polisi, Mr Anjas sebelum jadi orang hebat, Bu Puji sebelum jadi perempuan keren, dan Bu Wahyu sebelum jadi perempuan berkelas. Selalu ada perjuangan. Kesana kemari. Tahun milenial tidak semudah tahun tahun Suharto memimpin. Meski aku tak mengenali kehidupan pada jaman kepemimpinannya. Pekerjaan di dapat. Bahwa, mencari judul skripsi sama halnya dengan mencari pasangan. Harus benar benar pas. Pun dengan pekerjaan, harus benar benar pas. Ku sebut saja dengan budak corporate. Katanya begitu. Duduk diam, dari pagi ke petang bahkan malam. Hanya mendengar dan menjalankan perintah. Passion? Apa itu, tapi baginya yang menyukai ritme kehidupan seperti itu tidak akan ada masalah. Denganku? Ku selesaikan singkat saja masa kerjaku yang seperti itu. Kata Bu Puji aku harus berani bermimpi, kata Pak Cik kita harus berani bermimpi biar tuhan yang merengkuh mimpinya. Kata Gie aku harus menjadi manusia bebas. Ya, dari kata kata mereka aku hanya ingin menjadi aku. Seperti yang pernah disampaikan Pram, menulis adalah bekerja untuk keabadian.

 *** 

Dan itulah kehidupan. Selalu mengalami peroindahan. Terlahir tanpa pakaian, lalu memasuki sekolah menjadi manusia manusia berseragam sampai akhirnya menjadi manusia tak berseragam. Ritmenya pun akan selalu sama, akan ada hujan, akan ada panas, akan ada kebahagiaan, akan ada kekecewaan, akan ada kesedihan. Akan ada perjuangan untuk mendapatkan sinyum yang tersimpul dari sebuah potret sederhana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabat, Tapi Sayang (3)

Sahabat, Tapi Sayang

Sepotong Martabak