Feb Fiction : Senja di Balik Sekolah
Namaku Aisya, usia 29 tahun bekerja sebagai Editor setelah 6 tahun jadi reporter. Setelah bertahun-tahun hidup di kota besar yang untuk bernafas aja kita harus saingan, akhirnya bulan depan aku bisa kembali pulang ke kampung halamanku di Solo. Kota yang ngga pernah neko-neko itu mungkin sudah banyak berubah.
Solo, kota yang penuh keramah tamahan penduduknya. Kota yang macetnya ngga separah ibu kota. Kota yang pada akhirnya menyimpan kenangan buruk yang sebenarnya ngga ingin ku ingat kembali.
Setelah enam tahun menaklukkan ibu kota, Pak Dahlan dengan sukarela mengirimku kembali ke tempat dimana aku tumbuh dan besar.
Rasanya tidak sabar. Sudah sangat rindu dengan suasana pagi jalanan Slamet Riyadi yang lengang. Serabi Notosumo yang rasanya selalu khas dan Selat Vienns yang selalu ramai.
Apa kabar mereka ?
Tak lupa teman-teman guruku di SMK Batik Nusantara dan murid-murid yang ada di sana. Beberapa sudah ada yang merantau menyusulku ke kota ini. Beberapa bahkan ada yang sudah mendahuluiku pergi ke Negeri Matahari Terbit itu.
Aku ingat, tujuh tahun lalu ketika aku sedang jajan es buto ijo di depan sekolah itu. Seorang murid terkesan melihat jaket almameter berlogo bendera Jepang yang aku kenakan. Dia sempat mengira aku ini seorang TKI. Geli rasanya jika teringat peristiwa itu. Tapi siapa sangka jika pertemuan tak sengaja dengan bocah bernama Tegar itu telah mengubah semuanya dalam hidupku.
Lalu kamipun secara tak sengaja sering bertemu di kedai es itu. Karena memang sejak kuliah aku senang jajan di sana. Sambil menikmati suasana sore yang teduh di kota Solo. Menyaksikan ratusan siswa yang keluar dari pintu gerbang SMK Batik Nusantara.
Ah, apa kabar Tegar sekarang ? Sejak aku memutuskan untuk pindah enam tahun lalu dia terlihat sangat marah kepadaku. Dia tidak pernah lagi menghubungiku. Tak seperti murid-murid yang lain. Beberapa kali aku mencoba menghubunginya, tapi tak pernah ada jawaban.
Ya, mungkin dulu aku egois. Tapi aku merasa meninggalkan kota Solo adalah yang paling tepat. Tegar tak akan memahami jika aku menjelaskannya pada hari itu. Yang lebih membuat Tegar kecewa adalah karena menurutnya aku selalu menganggapnya masih kecil. Ya, setidaknya keadaannya memang begitu. Tegar hanya bocah kelas 2 SMK dan aku? Aku adalah senseinya. Aku gurunya.
...
April, 2010
Aku lulus dari sekolahku. Tak seperti sekolah formal lainnya, Abi menyuruhku belajar di Sekolah berkurikulum islami yang patokan bulannya menggunakan bulan-bulan islam. Tahun ajaran baru di sekolah kami adalah setiap pergantian tahun baru islam. Setelah mendapatkan hafalan 5 juz, aku bisa menyusul Akbar yang lebih dulu lulus pada periode sebelumnya. Pada bulan berikutnya kamipun mengikuti bimbel untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri. Biarpun Abi adalah seorang pemilik pesantren, aku tetap ingin bersosialisasi di dunia ini. Sejak kecil aku tak pernah merasakan pendidikan formal di sekolah biasa. Maka aku meminta izin kepada Abi agar mengizinkanku untuk kuliah setelah lulus dari Aliyah. Dengan dalih, ada Akbar dan juga Husein ke dua sahabatku yang akan menemani.
Husein dan Akbar adalah sahabatku di kampung sejak kecil. Ada juga Rin dan Ahmad. Tapi mereka telah lebih dulu merantau. Sesungguhnya aku iri pada Rin yang bisa lebih bebas melihat dunia ini. Abi selalu mengajarkanku bahwa anak perempuan tidak boleh pergi jauh-jauh tanpah muhrim. Yang dalam hal ini adalah ayah kandung, kakak kandung ataupun suami. Beranjak dewasa Abipun mulai membatasi pertemuanku dengan Akbar dan Husein. Tapi sejujurnya, Abi sudah menganggap Akbar dan Husein seperti anak kandung sendiri. Jadi Abi tak lagi begitu mempermalahkan jika aku pergi dengan mereka.
Sejak dulu, aku selalu menyukai dunia Jejepangan. Aku selalu senang jika Abi mendapat undangan dakwah di sana. Kata Abi kehidupan muslim di sana sangat keras. Jadi dia tak mengizinkanku untuk pergi kuliah ke sana. Abi malah menyuruhku kuliah di Madinah karena ada kerabat di sana. Tapi aku masih mengurungkan niat itu.
Akhirnya aku diterima di salah satu kampus swasta dengan jurusan Sastra Jepang. Rasanya senang sekali mempelajari bahasa ini. Menurutku, Jepang adalah orang-orang dengan kebudayaan yang unik. Tapi aku salut dengan kedisiplinan dan budaya malu yang hidup di sana. Berbeda dengan orang-orang di negara yang mayoritas muslim ini. Rasa-rasanya mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi.
Akbar dan Huseinpun berada di satu kampus yang sama denganku. Tapi kami beda jurusan. Akbar di jurusan keguruan dan Husein di jurusan teknik. Meski tak lagi sering, tapi kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu.
Kedua jagoanku ini, sejak dulu selalu menjadi idola kaum hawa. Apalagi Akbar. Selain karena suaranya bagus, hafalannya juga sangat kuat dan kharimasnya begitu luar biasa saat dia mengisi salah satu kajian di kelasku dulu. Ya, mungkin aku salah satu dari kaum hawa itu. Siapa yang tidak mengidolakan Akbar tapi ?
Husein ? Dia sedikit berbeda dengan Akbar. Sejak dulu, kemampuan akademisnya jauh lebih menonjol diantara kami. Padahal Ayahnya juga kiai, tapi dia tak pernah sedikitpun berkeinginan menjadi kiai dan mengelola pondok keluarganya. Berbeda denganku yang mungkin kelak mau tidak mau harus mengelola pesantren itu bersama suamiku.
....
September 2012
Dadakan, dan cukup mengejutkan. Baru di semester empat. Tapi Husein memutuskan untuk menikah. Dia jatuh cinta dengan seorang teman kuliahnya yang berasal dari Aceh. Namanya Aira. Wajahnya seperti orang Arab. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Senyumnya manis sekali. Apalagi dengan lesung pipit di pipi kanannya. Pilihan Husein di luar dugaan kali ini. Setelah sejak SMA sering menggoda perempuan. Akhirnya pilihan Husein jatuh pada gadis serambi mekkah itu.
Pernikahan Husein digelar cukup mewah. Rin dan Ahmad pulang dari perantauan. Ahmad jadi lebih gemuk. Jenggotnya sudah cukup panjang. Rin ? Rin semakin cantik dengan balutan gamis dan jilbab syar'inya. Aku senang mereka tak berubah meski tinggal di ibu kota. Ku dengar, Ahmad malah mulai dipercaya untuk mengajar ngaji anak dari kolega bisnisnya. Abi selalu bilang, hiduplah dengan mengamalkan Alquran. Maka hidup kalian akan diberi kemudahan. Dan Ahmad telah membuktikannya.
Seperti biasa, aku hanya sering duduk di belakang menyaksikan kebahagiaan orang-orang yang berlalu lalang. Berfotopun tidak. Sungkan rasanya. Satu penyakitku, selalu takut jika berada di kerumunan orang. Akbar yang mulai menyadari segera keluar dari keramaian itu dan menghampiriku di belakang. Dia membawa dua cangkir es krim cokelat kacang kesukaanku. Tahu saja si Husein, kalau sahabatnya ini sangat addicted dengan cokelat dan es krim.
'Aku juga ingin menikah Sya'
'Kapan?'
'Ya, secepatnya. Semoga. Aku masih mencari. Tapi ada satu perempuan yang aku incar'.
Rasanya ingin sekali aku bertanya siapa perempuan itu. Tapi aku takut mendengar jawabannya yang tidak sesuai dengan harapanku.
'Nanti aku kenalin. Aisya harus lihat ya. Pasti suka. Kerudungnya syar'i juga. Persis kaya kamu'
Tiba-tiba rasanya sangat mual. Ulu hatiku nyeri. Tanpa harus bertanya Akbarpun pasti akan menceritakannya padaku.
...
Kami memang berlima. Tapi aku paling dekat dengan Akbar. Sampai-sampai, para santri di pesantren Abi mengira aku dan Akbar pacaran. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Kami hanya bersahabat. Tak lebih.
Akbar dan Husein seperti orang kembar. Kebiasaan mereka juga sama. Selalu merepotkanku. Beli baju lebaran. Bayar makan. Cari kado untuk pacar. Semuanya aku yang menentukan. Kadangkala, bersahabat dengan dua makhluk itu menyenangkan tapi lebih banyak repotnya.
Apalagi Akbar, sejak di Madrasah selalu apa-apa harus tergantung padaku. Beli baju, tanya ke orang, komunikasi dengan teman-teman. Semuanya aku. Kalau tidak ada aku di dunia ini, akan jadi si Akbar ini. Kadang geram sendiri. Tapi aku terlanjur menyayanginya. Sebagai sahabat. Atau lebih ?
....
Januari, 2014
Akhirnya empat tahun berlalu tanpa terasa. Aku dan Akbar bisa menyelesaikan kuliah tepat empat tahun. Kami di wisuda di periode yang sama. Hanya berbeda hari. Umi membelikan kebaya yang sama dengan Akbar. Em, maksudku seragam keluarga kami. Motif kebayaku disamakan dengan baju Akbar. Katanya biar seragam aja. Umi dan Ibunya Akbar juga bersahabat sejak kuliah. Tak disangka, aku meneruskannya dengan Akbar. Bahkan sejak kecil.
Aku sengaja datang ke wisudanya Akbar dengan Sita. Gadis yang disukai Akbar. Dia orang Toli-Toli Sulawesi. Adik kelasnya Akbar di kampus. Sangat cantik dan anggun. Jauh lebih syar'i dan hafalannya sudah lebih banyak. Diam-diam, aku banyak belajar dari Sita. Kebetulan saja, Sita tinggal satu wisma dengan Zaenab sahabatku. Jadi sedikit banyak aku bisa mengetahui hal tentang Sita.
Selama tiga tahun itu, Akbar terus bercerita tentang Sita. Dan aku terus menjadi pendengar yang baik. Meski sebenarnya, ulu hati itu terasa nyeri. Tapi aku mengabaikannya. Biarlah, jika memang berjodoh bukankah aku dengan Akbar juga akan bersatu ?
Hari itu, Akbar terlihat bahagia ketika aku membawa Sita hadir di wisudanya. Setidaknya, aku tak akan pernah kehilangan Akbar ketika memilihnya menjadi sahabat.
....
Lulus kuliah, aku tak langsung bekerja. Aku membantu Abi mengajar di pesantrennya sembari menunggu beberapa panggilan pekerjaan. Akbar jauh lebih dulu bekerja di CV milik dosen pembimbingnya. Sedangkan Husein, akhirnya menuruti keinginan Ayahnya untuk mengelola pesantren. Ia sudah memiliki dua anak. Anaknya kembar. Laki-laki dan perempuan. Namanya Akbar dan Aisya. Sengaja diambil dari nama teman-temannya. Katanya kalau nanti punya anak lagi akan dinamai Ahmad dan Rin jika perempuan. Ada-ada saja.
Di situlah aku mulai menemukan hobi baru. Aku sering mendatangi SMK Batik Nusantara. Menyelinap ke belakang sekolahnya dan menunggu senja. Senja dari balik sekolah itu selalu memesona. Sejak aku kecil hingga dewasa. Dulu, sekolah ini hanya sebuah pematang sawah yang gubugnya hampir reyot. Aku senang melukis pemandangan dari sana. Dan Akbar akan menemaniku dengan membawa es tung tung sisa jualan Pak Tohir. Hampir 10 tahun berlalu. Pematang sawah itu telah disulap menjadi sebuah sekolah yang megah. Di balik sekolah itu, ada satu spot yang dulu sering aku gunakan untuk merenung. Ya, karena aku selalu takut bertemu orang banyak. Aku lebih memilih duduk diam di gubuk reyot itu untuk menunggu senja. Sambil menambah hafalan, dan melukis sketsa wajah Akbar.
....
September 2011
Aku masih belum bekerja. Rasanya seperti memiliki beban tersendiri. Abi dan Umi tak pernah mempermasalahkannya. Tapi aku sendiri yang merasa malu. Sudah susah payah disekolahkan, tapi tak bisa membalas apapun. Akhirnya aku kembali menggunakan kemampuan lamakun. Bukan, maksudku kebiasaan lamaku. Menulis. Kembali ku mainkan blog yang sudah lama tertutup. Aku mulai menulis puisi lagi. Beberapa cerita pendek dan artikel. Tulisan-tulisan itu ku kirimkan pada portal-portal media online. Lumayan sesekali hasilnya bisa untuk beli pulsa.
Lalu sore itu, ketika aku mencari inspirasi untuk menulis. Aku bertemu Tegar. Murid kelas 10 yang juga terobsesi pada Jepang. Dia terkesima melihat jaket hijau yang aku kenakan dengan simbol bendera Jepang di lengan kananku. Kita seperti sudah saling kenal sangat lama. Baru bertemu beberapa kali sudah banyak hal yang dia bicarakan. Sampai suatu hari, ketika akhirnya aku diterima sebagai reporter di salah satu media online Indonesia, itu juga karena Tegar. Katanya, kakaknya juga reporter bola di sana.
Setiap pulang dari bekerja, aku selalu mampir untuk datang ke kedai es buto ijo itu. Untuk menemui Tegar. Menyerahkan komik-komik pesanannya dan gambar-gambar tentang Jepang. Enam bulan aku jadi reporter, Tegar kembali memberiku informasi lowongan pekerjaan. Katanya di sekolahnya sedang membutuhkan guru untuk mengajar ekskul bahasa Jepang. Ya sudah, ku coba saja memasukkan lamaran di sana. Toh aku masih memiliki waktu yang cukup banyak.
Tanpa basa basi yang cukup panjang, Pak Ridwan selaku kepala sekolah langsung menerimaku sebagai guru ekskul bahasa Jepang di sekolah itu. Katanya Tegar sudah sering cerita banyak hal tentang aku. Tegar bilang aku sudah sangat paham tentang Jepang. Berlebihan rasanya. Padahal, menginjakkan kaki di sana saja belum pernah.
Akbar yang sejak awal tidak suka aku bekerja jadi reporterpun amat sangat mendukung pekerjaan sampingan ini. Ya, mungkin perlahan-lahan aku akan melepaskan pekerjaan sebagai reporter ini.
Tapi ternyata, aku salah. Justru aku semakin terikat dengan pekerjaan ini sampai hari ini. Mungkin Akbar membenciku. Perasaannya tak pernah mudah untuk ditebak.
Permulaan 2013,
Sita lulus kuliah. Dan akan segera pulang ke Toli-toli. Akbar bilang dia ingin melamar Sita, tapi tabungannya belum cukup. Satu hari satu malam, aku mengabaikan pesan itu. Meninggalkan rumah dan bermalam di balik sekolah. Melepaskan tangisan pada senja yang semakin memudar. Aku berteriak tanpa suara. Tangisku tertahan pada isakan. Hanya air mata yang tak henti mengalir.
Bagiku, Akbar tak pernah serius soal urusan perempuan. Tapi aku salah. Dengan Sita, Akbar benar-benar telah jatuh hati. Aku bisa apa ? Aku tak pernah mengungkapkannya. Tanpa sadar, aku ketiduran di tempat tersembunyi itu. Senja telah berpulang. Menenggelamkan lazuardi yang menguning. Bulanpun ditelan malam. Tinggal aku meringkuk di bawah bulan tanpa suara. Karena kelelahan, akupun tertidur. Sampai esok harinya, tak sengaja Tegar menemukanku di sana.
...
'assalamualaykum,
Mbb bar. Semalam hp mati. Aku ada tabungan, jangan ditolak. Pergilah ke toli2 dan temui Sita dengan keluarganya'
Dengan tangan yang sedikit bergetar, ku kirimkan pesan singkat itu pada Akbar. Tak lagi menangis. Dan tak mungkin menangis. Karena ini di kantor. Sedikit lama Akbar membalas pesan itu.
'Ga mungkin, sya'
'Kenapa engga ? Bar, kamu tahu kan Aisya akan selalu ada sebelum Akbar minta tolong? Niat baik itu harus disegerakan. Nanti kita ketemu di tempat biasa ya. Aku tunggu jam 6 sore. Wassalamualaykum'
Hp pun ku matikan. Tanpa menunggu babibu dari Akbar. 12 artikel bisa ku kerjakan cepat hari ini. Akupun segera pulang karena kebetulan ada jadwal mengajar di sekolah Tegar. Dia juga pasti sudah menagih cerita kenapa aku bisa tertidur di ruangan tak berpenghuni itu.
Aku mengabaikan Tegar yang terus merengek menagih cerita.
'Sensei kenapa bisa tidur di sana ? Ga mungkin diculik kan ?'
'Sudah dibilang ketiduran, Gar'
Aku menjawab sekenanya saja. Tapi dasar Tegar, si bocah kritis itu terus saja menyelidiki. Tapi aku berhasil menghindarinya karena kelas harus segera dimulai. Dikasih komik juga anak itu tak akan mencari tahu lagi.
Sekitar pukul lima, kelas selesai. Tegar pulang karena telah dijemput kakaknya. Sambil menunggu pukul enam. Aku mampir ke kedai es buto ijo. Akbar juga masih perjalanan dari Sukoharjo.
Pukul 6 sore. Tepat. Matahari mulai berjalan ke arah barat. Meninggalkan satu hari yang melelahkan. Ku dengar langkah kaki dari belakang. Aroma cokelat itu, pasti Akbar. Ku buang jauh-jauh kesedihan di raut wajahku. Ku gantikan dengan kekesalan karena dia telat. Ya, Akbar selalu telat jika membuat janji dengan seseorang.
'Udah mau nikah masih aja telat'. Gerutuku untuk menutupi kesedihan.
Akbar malah nyengir kuda. Sambil nyerahin es krim Glico stroberi kesukaanku. Yang disuap langsung nyengir kuda bahagia.
Tak banyak perbincangan diantara kami. Aku langsung menyerahkan kertas tiket pulang pergi ke Toli-Toli itu.
'Sebelum kamu nyesel. Aku tunggu kabar baiknya'
Ku letakkan tiket itu di tangan Akbar. Dan aku berjalan pulang. Akbar masih tak percaya. Tapi aku yakin dia senang karena mendapat dukungan penuh dariku. Karena memang hanya aku satu-satunya orang yang mendukung Akbar untuk melamar Sita. Ibunya sangat menentang. Husein juga. Apalagi Rin. Dari dulu dia ingin aku yang menikah dengan Akbar. Ya, mungkin hanya Rin yang tahu jika sejak dulu aku telah jatuh cinta pada Akbar.
Sejak hari itu, aku meminta izin pada Abi untuk kembali melanjutkan studi S2. Kali ini akan ku biayai sendiri dengan pekerjaan yang saat ini kumiliki dan mencari beasiswa.
Lamaran Akbar diterima. Dan lamaranku untuk beasiswapun diterima. Langit seperti memudahkan urusanku untuk menjauhi Akbar. Rin melarangku, karena ia tahu ini hanya bentuk pelarianku.
Pak Dahlanpun tanpa diduga memintaku untuk pindah tugas ke Jakarta. Dan aku bisa melanjutkan S2 di sana. Benar-benar rencana yang sempurna.
Tapi ternyata, terkadang harapan manusia tak sesuai dengan takdir yang telah digariskan tuhan kepada umatNya.
Satu bulan menjelang pernikahan Raihan dengan Sita. Aku mengalami kecelakaan. Saat mencoba mengejar Tegar yang marah kepadaku karena ku katakan padanya tentang keinginanku untuk pindah ke Jakarta.
Kata Tegar, aku terlalu pengecut jika memutuskan pergi dari Akbar dan pernikahannya. Padahal sejak awal aku yang telah menawarkan diri untuk membantu persiapan pernikahannya. Tapi pada akhirnya aku yang akan meninggalkan Akbar karena takut akan kecewa.
Ku katakan pada Tegar bahwa dia hanya anak kecil yang tak akan memahami masalah ini. Tapi dia marah dan akhirnya pergi dengan kemarahan. Aku mencoba mengejarnya. Tapi ternyata, ada motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah jalan raya. Tabrakan itupun tak bisa dihentikan.
Satu bulan kemudian aku tersadar setelah mengalami koma. Kira-kira, itu hanya tinggal satu minggu dari acara pernikahan Akbar. Aku meminta Abi untuk tidak memberi tahu Akbar bahwa aku telah sadar.
Aku memilih pergi diam-diam memenuhi panggilan Pak Dahlan di Jakarta. Tanpa pamit pada Akbar, Husein dan Aira. Juga pada Tegar yang katanya sempat datang beberapa kali ke Rumah Sakit.
Sambil bekerja, aku tetap menempuh pendidikan S2 ku di Universitas Atma Jaya. Di sana, aku mengambil jurusan masgister ilmu komunikasi untuk memperdalam ilmu dari pekerjaan yang aku tekuni saat ini. Aku juga mulai mendapat tempat khusus di salah satu majalah wanita. Karirku berjalan baik-baik saja selama enam tahun ini. Sesekali Abi dan Umi menengok ku di Jakarta. Juga Rin. Sekarang dia sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Darinya juga ku dengar Husein sudah memiliki empat orang anak. Sejak satu tahun yang lalu mereka pindah ke Aceh untuk mendirikan sekolah formal islami di sana. Sedangkan Ahmad, ku dengar dia mendapatkan beasiswa ke Turkey. Sesuai dengan cita-citanya. Sedangkan Akbar. Aku tak pernah ingin mengetahuinya. Aku meminta Rin untuk tak menceritakan apapun tentang Akbar.
Aku justru ingin tahu tentang Tegar. Bocah nakal itu, apa masih marah kepadaku ? Beberapa murid masih berhubungan denganku via email.
Februari 2018
Abi dan Umi sangat menyambut rencana ku dipindah tugaskan ke Solo. Selain karena dekat, Abi juga sudah semangat mempersiapkan beberapa ikhwan untuk diperlihatkan padaku.
Menurut Abi, usiaku sudah sangat tua. Hampir 30 tahun tapi aku belum menikah. Ya, enam tahun begitu cepat berlalu. Dan aku tak menyadarinya.
Mungkin, aku juga sudah melupakan rasa sakit hati yang ku buat sendiri terhadap Akbar.
....
Aku mengawali pagi hari di Solo dengan berjalan kaki di sepanjang Jalanan Slamet Riyadi saat CFD. Setelah ini aku akan pergi ke Beteng untuk mencari beberapa helai kain. Aku ingin menghidupkan kembali bisnisku. Aku ingin berjualan hijab. Kantor baru untuk ku masih dibangun. Dan karyawan yang akan bekerja sama dengankupun masih dalam tahap perekrutan. Jadi aku masih memiliki sedikit waktu untuk beristirahat di rumah dan menikmati kota Solo.
Satu minggu pertama, aku hanya berjalan di sekitar pesantren. Minggu ke dua aku mulai berjalan ke sekitar sekolah tempat dulu aku melihat senja. Kedai es buto itu juga masih ada. Bang Rizal, si penjual es buto ijo kini sudah terlihat lebih dewasa. Dan ia tak lagi sendiri. Ia sudah menikah dan memiliki seorang anak. Sempat kutanyakan tentang Tegar. Tapi mereka juga tak tahu menahu. Tegar tak pernah lagi datang sejak hari itu.
Tapi katanya, ada seorang guru matematika baru di SMK Batik Nusantara yang belakangan menjadi pelanggan baru di kedai ini. Bang Rizal tak pernah bisa mengingat namanya. Tapi katanya dia selalu mencariku sejak pertama kali mengajar di sekolah itu.
Aku penasaran. Temanku tak ada yang menjadi guru di sekolah itu. Kalaupun ada, itu jelas bukan guru baru. Dan guru matematika di sekolah itu cuma satu dan dia perempuan.
Katanya dia sering datang ketika pukul lima sore. Menjelang magrib dia akan kembali ke sekolah sampai malam sudah sangat larut.
Aku penasaran. Perasaanku mengarah pada satu nama. Tapi rasanya tak mungkin. Dia tidak bekerja di sekolah ini dan, bukankah dia sudah menikah ?
....
Minggu ke empat aku di Solo. Ku putuskan untuk melakukan pencarian tentang siapa pelanggan baru Bang Rizal yang mengaku sebagai guru matematika di SMK Batik Nusantara. Aku sengaja datang lebih awal ke kedai itu. Dan ku sempatkan untuk mampir ke sekolah. Hampir satu bulan, tapi aku belum menyambangi sekolah itu. Rupanya sudah banyak berubah. Enam tahun ternyata membuatku hampir tak mengenali bangunan ini. Guru-gurunyapun sudah banyak yang baru. Ekskul bahasa Jepang tetap berjalan. Tanpa guru baru. Hanya beberapa alumni sekolah yang pernah ke Jepang yang silih berganti mengajar secara sukarela.
Lalu, tibalah aku pada saat yang tak terduga itu. Aku menanyakan tentang guru matematika yang baru kepada Pak Solih, tukang kebun di sekolah itu. Sebuah nama yang sebenarnya tak ingin ku dengar. Bukankah seharusnya dia sudah di Toli-Toli ?
Pak Solih mengantarku ke kelas 11 Ipa 2. Tempat dimana guru itu mengajar. Aku terkejut. Ya, dialah Akbar yang menjadi guru matematika di SMK Batik Nusantara sejak enam tahun lalu.
Aku tak menyangka jika ceritanya berakhir menyedihkan. Sita, akhirnya menerima lamaran orang satu bulan sebelum pernikahan. Karena sejak awal Sita memang tak menyukai Akbar. Ia hanya ingin mencoba memberi kesempatan kepada Akbar.
Akbar mencoba mendatangiku ke Rumah Sakit, tapi aku sudah pindah ke Jakarta. Dia mencariku ke sana kemari. Tapi aku menghindar. Abi dan Rin tak pernah memberi dimana alamatku yang sebenarnya.
Selama aku koma, Tegar terus mencari Akbar. Dia menyerahkan sebuah buku sketsa gambar milik ku yang selalu ku tinggal di ruangan di balik sekolah itu. Sejak itulah Akbar tahu jika aku menyayanginya lebih dari sahabat sejak belasan bahkan puluhan tahun yang lalu.
Akbar tersenyum ke arahku. Aku tak berani menatap wajahnya. Setelah enam tahun lamanya. Dia tetap kurus dan kecil.
'Dasar kurus, ga pernah makan ya selama enam tahun?'
Kataku sambil terisak. Akbar terkekeh. Dia menyerahkan sebuah tisu untuk ku. Kitapun terbenam dalam indahnya senja dari balik sekolah.
....
Kata Abi sejak dulu, jodoh, maut dan rezeki manusia sudah ditentukan sejak dulu di lauhul mahfudz. Begitu juga dengan perkenalanku dengan Akbar. Aku mengenalnya sejak belum balig. Siapa sangka jika pada akhirnya 'langit' mengizinkan dia untuk menjadi teman hidupku selamanya.
Abi juga selalu bilang, kamau mau seperti Fatimah atau Khadijah. Aku tak mungkin seperti keduanya. Karena aku hanya manusia biasa. Tapi aku hanya mencoba mengambil pelajaran dari Ali.
"Cinta tak pernah memaksakan.
Ia mengambil kesempatan, yang ini keberanian. Ia mempersilakan, yang ini pengorbanan"
Komentar
Posting Komentar