Senior High School Life: Belajar dari Pak Tukang Selah
Welcome to Cay Stories
...
Life is like a piece of martabak, every parts has its own taste.
Hidup itu, kaya sepotong martabak. Setiap bagiannya punya rasa masing-masing. Kadang manis, kadang asin, kadang hambar dan kadang pahit kalo lagi gosong.
...
Entah kenapa lagi tetiba kepikiran nulis tentang ini. Pasangan beda agama. Apa kalian pernah ?
Temen sih banyak yang nonis, tapi kalo pacaran belum pernah. Tapi kalo yang pernah deket ?
...
Namanya Awan. Dia ade junior gue di SMA. Pertemuan pertama kita dimulai ketika gue harus marah-marahin dia tanpa alasan. Awalnya si gitu. Biasalah ya senioritas jaman dulu masih suka marah-marah. Belum tren pendidikan karakter. Tapi malem itu, doi emang salah.
Waktu itu lagi ada acara pelantikan Osis. Dia kelas 10 dan gue kelas 12. Jadi kita beda dua tahun. Seperti biasa, di setiap eventnya Raihan gue selalu jadi sie Acara. Selain ngehandle acara Raihan ataupun pembina Osis selalu ngasih tugas dadakan ke gue. Ngga tahu kenapa, mungkin cuma gue satu-satunya anak yang bisa disuruh-suruh di sekolah itu. Termasuk malam itu. Karena persiapan dari panitia belum mateng, alhasil pesertapun dialihkan perhatiannya untuk mengulur waktu. Licik ya ? Wkwkwk .
Nah karena udah malem dan ngga kepikiran buat ice breaking, entah kenapa gue terdorong aja untuk marah-marah.
Niatnya sih boongan, tapi tahunya ada alasan yang emang bikin marah-marah.
Jauh-jauh hari sebelum acara dimulai, para peserta sudah diberi tahu untuk membawa semacam kain sebagai penutup kepala. Kenceng lagi ngasih tahunya. Plus ditambah dalam bentuk catatan.
Malam itupun, gue minta mereka untuk mengeluarkan secarik kain itu. Dikeluarin lah bagi mereka yang bawa. Ya, ini artinya ada anak yang ngga bawa. Daaan, cuma satu orang. Namanya Awan.
Yang tadinya mau marah-marah bohongan untuk mengulur waktu, jadinya marah-marah beneran karena ada yang ngga patuh sama tugas senior. (Siape lu?)
Setelah beberapa menit bikin suasana tegang, yasudahla ya. Acara selanjutnya juga udah siap, si Awan gue maafin tanpa hukuman. Apa ada? Rada lupa sih. Tapi akhirnya gue malah minjemin dia jilbab gue untuk penutup kepala. Karena panitia juga ngga ada yang persiapan tali lain. Dipakelah tali itu sama si Awan. Dan, selesai cerita malam itu.
Pelantikan Osispun selesai. Gue balik dianter Raihan. Karin balik dijemput papanya. Dan Awan pulang dengan teman-temannya. Nothing special. Sampe beberapa bulan kemudian, episode perkenalan gue dengan Awan berlanjut.
...
Motor gue masih Si Ganteng waktu itu. Honda Supra X 125 yang warna abu-abu. Motor matic belum ngetrend banget waktu itu. Cuma satu atau dua orang lah yang make. Berhubung Si Ganteng itu udah cukup tua, suka rewel lah dia.
Pada suatu hari, Si Ganteng mogok dan ngga bisa dinyalain pake starter. Harus diselah. Ngga bisa dong gue, mana pake rok panjang. Padahal paginya masih baik-baik aja. Gue pikir sih ngga ada bensin, tapi ada kok.
Ya mungkin emang kata 'langit' gue akan ketemu Awan siang itu. Tiba-tiba dia keluar dari sekolah. Ngelihat gue yang kebingungan dia nyamperin.
'Kenapa mbake?'
'Gatau nih. Ngga bisa distarter'
'Oh, harus diselah itu'
'Aku ngga bisa'
'Sini biar aku bantuin'
Dan sejak hari itu Awanpun resmi jadi tukang selah motor gue. Sampe-sampe gue panggil dia 'Pak Tukang Selah' karena hampir setiap hari dia yang nyelahin Si Ganteng. Padahal mah karena lupa juga namanya siapa.
Kita jadi semacam punya chemistry gitu. Gue ngga akan pulang sebelum dia nyelahin motor. Diapun melakukan hal yang sama. Dan di suatu hari, si Awan dateng membawa sebuah bingkisan plastik. Kepo dong isinya apa. Ternyata itu jilbab gue yang beberapa bulan lalu jadi penutup matanya dia -.-
Tapi wangi aseli, padahal dia laki-laki. Ya, cukup rapihlah. Disetrika juga. Mungkin hari itu neneknya sempet bingung, kok si Awan bisa ada jilbab putih ya.
Singkat cerita gue lulus dan Awan naik kelas. Kitapun berpisah dan Si Ganteng akhirnya diservis. Ngga perlu lagi nyelah-nyelah. Tinggal dinyalain, gas, tancap deh.
Setelah lulus, gue pindah ke Semarang. Dan Awan masih di Salatiga. Kita ngga pernah lagi kontekan apalagi ketemu. Karena emang ngga punya kontak masing-masing.
Tapi entah di semester tiga atau empat, si Awan muncul lagi. Setelah mungkin hampir dua tahun kita ngga tahu kabar masing-masing.
Di suatu siang atau malam, tiba-tiba ada nama Awan di beranda facebook gue. Dan sebuah inbox pertanyaan kabarpun masuk. Gue bales inbox itu seperlunya. Sampai berhari-hari kemudian, si Awan minta nomor HP gue. Kitapun beralih ke sms. Gue belum pake BBM ataupun WA. Masih smsan. Ngga tahu sampe kapan. Tapi komunikasi kita cukup intens.
Baper? Sedikit.
Karena basically gue emang tipikal perempuan yang mudah baper. Tapi itu cuma sesaat dan ngga pernah lama.
Si Awanpun jadi rajin ngingetin gue untuk nugas dan jaga kesehatan.
Satu hal yang gue salut dari sosok Awan, dia anak yang rajin dan gigih kalo ingin mendapatkan sesuatu. Menurut gue, dia anak yang pinter karena rajin. Hidupnya sangat tertata. Beda sama gue yang absurd dan sembarangan. Setiap pagi dia sekolah, ucapin selamat pagi sampe setelah pulang sekolah nanti dia akan ngehubungin gue lagi. Setelah itu dia akan sibuk dengan hobi ataupun tugas-tugasnya sampe malem sekitar jam 7 an. Dia akan ngingetin gue untuk makan dan dia pamit untuk belajar sampe jam 9 malem. Setelah itu kita ngobrol sebentar sampe jam 10 dia harus tidur. Dan gue masih akan begadang.
Hidupnya amat sangat teratur. Gue ngga tahu lagi kita ada di tahap apa hari itu.
'Tuhan memang satu, kita yang tak sama'.
Suatu hari dia kirim pesan itu ke gue. Dan rasanya jadi semacam...
Ya, gue sadar kalau gue dan Awan cuma akan selalu menjadi teman yang dipertemukan untuk saling belajar.
Banyak hal yang gue pelajari dari Awan. Bukan cuma kedisiplinannya dan kegigihannya dalam mencapai sesuatu. Tapi juga tentang caranya memandang hidup ini.
Awan adalah orang yang sangat apa adanya. Gue tahu, hidupnya sangat sulit. Dan dia harus dihadapkan dengan pilihan yang menurut gue juga sulit di saat dia belum cukup mengerti apa yang terjadi.
Orang tua Awan berpisah sejak dia kecil. Dan dia hidup bersama nenek dan saudara-saudaranya. Ibu kandungnya tinggal di Cirebon (kalo ngga salah). Sedangkan papanya, gue ngga tahu cerita soal itu.
Kalau Awan bisa memberontak, pasti akan dia lakukan karena dia selalu punya kesempatan itu. Tapi Awan memilih tumbuh menjadi anak yang menerima keadaan. Baginya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti atas seizin 'langit'.
Mungkin ini yang membuat Awan menyukai musik-musik cadas. Ngga ngerti lebih dalamnya seperti apa sih, tapi sekilas lagu-lagu punk atau cadas itu punya inti cerita yang memilukan. Mereka seolah ingin menyuarakan kesedihannya melalui sebuah lagu. Tapi bukan yang mendayu-dayu. Hidup mereka sudah terlalu menyedihkan, buat apa membuatnya semakin terdengar pilu.
Mungkin bagi yang ngga ngerti dan ngga bisa menikmati musik, ini apa sih? Tapi bagi mereka yang, musik adalah nada-nada kehidupan yang menghibur kesedihan dalam hatinya.
Tentang mimpinya, Awan ingin menjadi pilot. Agar ia bisa seperti namanya. Tapi pada akhirnya, sekarang Awan menjadi pelaut dan berlayar di kehidupan yang jauh lebih sulit.
Kalau dulu ditanya :
'Kenapa ngga itu aja, bukannya kamu maunya jadi itu?'
Awan pasti akan menjawab 'yauda mba nurut Pakdhe aja, kan beliau yang sudah membiayai sampai sejauh ini'.
Malu rasanya. Bocah itu dua tahun lebih muda dari gue, tapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Dia selalu punya pemikiran yang membuat gue geleng kepala.
Awan pernah janji mau ngeboncengin gue naik motor tril kalo gue pulang ke Salatiga. Tapi sayangnya, sampai hari ini hal itu ngga pernah kejadian. Gue pikir, Awan lupa. Tapi pas gue tagih beberapa bulan lalu, dia masih inget. Ya sudahlah ya, itu sudah berlalu. Meskipun sebenernya gue adalah tipe orang yang ngga bisa dijanjiin, tapi untuk yang satu ini gue bisa terima. Biarkan janji itu akan lepas dengan sendirinya.
....
Hari ini, 30 Januari 2018 sekitar pukul 8.15 malam dari Manahan. Baru aja gue ngeliat ig story Awan dengan seragam pelautnya yang terlihat lusuh. Mukanya ngga pernah berubah. Selalu menyiratkan kepolosan seorang bocah. Tapi matanya, matanya ngga pernah bisa bohong bahwa mungkin ada kesedihan yang dia alami semasa hidupnya.
Awan, nice to meet you beberapa tahun silam sampai beberapa bulan yang lalu. Kita bicara secara terbuka di bawah langit dan diselimuti dingin. Senyum mu ngga pernah berubah. Pikiranmu selalu cadas dan tegas. Semoga, jika secuil cerita itu benar kita bisa dipertemukan kembali ketika kita sudah mempercayai tuhan yang sama.
Komentar
Posting Komentar