Sahabat, Tapi Sayang (8)

Jam menunjukkan pukul 12.00 WITA. Itu artinya di Jawa masih pukul 11.00 malam. Gue udah janjian bakal nelpon si Dion yang malam ini lagi dinas malam. Ngga terasa, waktu cepet banget berlalu. 1, 2, 3 ... Kira-kira hampir tujuh tahun berlalu. Dan gue, ngga pernah nyangka kalau hari ini akan terdampar di Pulau kecil yang jauh dari peradaban ini. Tapi menenangkan. Dan banyak cerita menarik di dalamnya. Berawal dari ketidaksengajaan. Sejak sekitar enam tahun lalu, gue udah tiga kali pindah tugas. Dari mulai ke Palembang, Jakarta, Bandung dan hari ini gue sedang berada di tanah yang sangat jauh dari keluarga. Zona waktu kita pun berbeda. Di mana kalo gue telat pulang bisa kemaleman pula untuk video call an sama Ibu.
Ya, detik ini gue sedang ada di Kupang. Baru saja menyelesaikan tulisan tentang masa muda yang menggelitik.

Tuhan itu memang sudah tahu segalanya yang terbaik untuk makhlukNya. Dia memberi apa yang kita butuhkan. Bukan yang kita inginkan. Untuk menjadi penulis yang handal, yang gue butuhkan adalah inspirasi dan pengalaman. Sekalipun itu adalah pengalaman berupa kegagalan. Pasti tetap ada hikmahnya bukan ? Karena dari segala sesuatu yang sudah terjadi, cuma menyisakan dua hal. Menang atau belajar. Ngga ada kata kalah dalam kamus Sienna. Oh tidak, maksud gue Vienna. Ngga ada kata kalah di kamus Vienna.

Di tempat yang baru ini, gue lebih suka memperkenalkan diri gue dengan nama yang tertera di akta dan kartu identitas. Bukan nama kecil. Bukan nama panggilan keluarga atau orang-orang terdekat. Yang ada hanya Vienna. Sienna hanya hidup di masa lalu dalam kepecundangannya.

Beberapa waktu gue habiskan untuk merenung sambil menatap ke langit lepas. Sekarang ini, gue lagi duduk di padang rumput yang jauh dari rumah mama. Tapi di beberapa meter dari pandangan mata, gue melihat Nona Oky sedang bercengkerama dengan teman-temannya. Malam memang sudah larut. Tapi ini waktunya  gue untuk berhubungan dengan keluarga di Jawa. Jadi Nona Oky pun dengan senang hatinya rela mengantar gue untuk menyambangi padang rumput yang lebih mirip savana ini.

Ngga berselang lama, ponsel pintar gue berbunyi. Nada deringnya masih sama. Lagu Jealous dari Labrint yang ngehits pada jamannya.

"Halo kakaaaa. Sekarang air sudekat?" terdengar suara lawakan Dion dari seberang.

"Ga usah sok ketimur-timuran. Di sini udah tengah malem".

"Lha biasanya kan emang tengah malem. Na .. Lo kurusan ?"

"Ngeledek ya!"

"Ha ha beneran kali ini lo kurusan. Kenapa sih, kangen rumah ya ? Makanya pulang"

"Stop, Yon! Jangan lagi nyuruh gue pulang. Belum waktunya"

"Terus mau kapan ? Emang masih kurang jauh dan kurang lama buat lo nyembuhin diri"

"Ya .. Ngga juga sih. Kan gue bilang, nanti gue pulang kalo udah punya suami. Haha"

"Yaudah gue jemput ya terus lo pulang. Kali ini gue ngga pengin ketawa biar dianggap serius"

"Ha ha. Apa dah, Yon. Fokus lo sekarang harusnya ke Siena dan Akbar"

"Na .. Apa masih kurang waku tujuh tahun buat nyembuhin rasa sakit ati itu?"

"Gue ngga ada sakit ati kok. Cuma ya, kaya ngerasa konyol aja gitu. Udah ah. Nona Oky udah melambai. Saatnya sa pulang. Kaka hati-hati e di sana. Janga siena dan Akbar. Sampaikan salam sa ke mereka. Bye Dion!"

Klik. Tanpa nunggu respon dari Dion, gue langsung matiin telpon itu.

Padahal baru setengah satu. Nona Oky juga masih asik bercengkerama dengan teman-temannya. Malam ini kami tidak pulang ke kampung. Kami sudah sewa hotel di dekat sini untuk menginap. (Kok jadi agak ketimuran?)

Setiap satu minggu sekali gue punya jadwal untuk nginep di kota biar bisa komunikasi sama keluarga di Jawa. Karena di kampungnya Nona Oky signal adalah satu hal yang amat sangat susah dicari.

Selain itu, gue juga harus nyari buku atau perlengkapan anak-anak di SOS. Mulai dari buku, kapur, spidol sampai seragam baru untuk anak-anak yang baru.

Tujuh tahun, ngga nyangka selama itu menjadi waktu-waktu paling menegangkan tapi juga menyenangkan. Jatuh bangun. Semua bisa terlewati seorang diri. Rupanya, Vienna yang dulu manja kini telah menjelma wanita dewasa yang mandiri dan punya kekuatan.

Karena ngga mungkin telpon mami, gue lebih memilih untuk balik ke hotel. Karena besok masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Sampai di hotel

Gue memandangi amplop yang dari minggu lali masih tertutup rapat. Itu dari Bang Farhan. Surat mutasi. Lebih ke surat tugas sih. Entah ini surat ke berapa yang sepertinya akan gue abaikan lagi.

Sejak peristiwa itu, gue sudah bertekad ngga akan menyambangi kota itu lagi. Kota yang sebenarnya juga belum pernah gue datengin. Tapi sepertinya dia akan menjadi kota yang menyakitkan.

Tapi kali ini, kenapa rasanya berbeda. Gue juga kepikiran kata-kata Dion. Tiba-tiba, gue juga kepikiran Ibu. Harusnya, gue yang ada di samping dia belakangan ini. Nemenin ke pasar, masak bareng, belanja bareng, dengerin omelan Ibu. Banyak hal yang sebenernya sudah sangat gue rindukan tentang rumah. Tapi ... Rasa gengsi atau memang sakit hati itu masih sangat dalam. Sakit hati yang sebenarnya gue buat sendiri. Bukan lagi soal melupakan, tapi yang lebih sulit adalah bagaimana diri bisa berdamai dengan masa lalu. Dan, belajar memaafkan itu penting. Karena melupakan, belum tentu memaafkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabat, Tapi Sayang (3)

Sahabat, Tapi Sayang

Sepotong Martabak