Bunga di Tepi Jalan
Minggu, dini hari. Mengapa tidak memperlakukanku dengan lembut? Apakah hasrat itu terlalu tinggi hingga membuat mereka lupa daratan. Bahwa mereka sedang bermain dengan manusia, bukan binatang. Terlebih aku tetaplah seorang perempuan. Sehina hinanya diriku di mata tuhan, bahkan di mata manusia lainpun. Aku tetaplah seorang perempuan yang menginginkan sentuhan kelembutan dan cinta. Tunggu, apa yang baru saja ku katakan. Cinta? Mana mungkin manusia seperti aku ini bisa mendapatkan cinta. Mungkin bagiku, cinta adalah uang. Saat mereka bisa memberiku uang banyak dan aku hanya harus menghilangkan sepi yang mereka rasakan selama beberapa jam saja. Mudah bukan untuk mencari kebahagiaan di dunia ini? Dan sial, sekali lagi pertanyaan itu menghantuiku. Apakah aku akan selamanya begini? Bahkan memikirkannya lebih jauh saja aku tak mampu. Ah sudahlah, hari sudah malam. Maksudku sudah menjelang subuh. Aku harus tidur untuk besok bersiap menemui dosen sok suci itu.
**
Bunga merebahkan tubuh langsingnya di kasur begitu saja. Mungkin dia kelelahan. Malam tadi ada dua tamu yang harus dia temani. Sementara jam dinding menunjukkan pukul empat pagi. Beruntung malam ini tidak ada bapak-bapak yang jaga di pos ronda di ujung pemukiman padat penduduk itu. Bunga tidak perlu meladeni godaan murahan dari bapak bapak hidung belang itu. Dia sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Mulai malam ini dia berjanji akan mengurangi aktifitas malamnya itu dan akan berkonsentrasi menyelesaikan tugas akhirnya. Karena dosen baru itu selalu mengejar Bunga untuk lekas menyelesaikan tugas akhir ini. Baru tiga puluh menit Bunga tertidur. Tapi dia sudah terbangun lagi oleh suara adzan yang tiba-tiba saja berkumandang dari HPnya. Sial. Umpatnya dalam hati. Dosen baru sok suci itu benar-benar semakin keterlaluan. Berani beraninya dia memasang aplikasi pengingat waktu solat di HPnya. Tapi kapan Pak Budi meminjam HP Bunga, dia mencoba mengingat. Bunga membanting HP pintar keluaran Jepang itu jauh dari tempat tidurnya. Akhirnya suara adzan itu terhenti. Kembali Bunga melanjutkan tidurnya. Ia menenggelamkan diri dalam selimut berwarna ungu muda itu. Tapi sia-sia. Sepuluh menit ia mencoba memejamkan mata sipitnya tapi tak juga Bunga tertidur lelap. Sekali lagi Bunga mengumpat kesal atas tindakan dosen muda sok suci itu.
**
Minggu, siang menjelang sore hari. Bunga memarkirkan motor Vespa ungu mudanya di bawah Pohon Kersen di pojok parkiran Kampus. Tempat ia memarkir motor sejak pertama kali ia datang ke kampus ini. Sepi. Jelas saja, ini hari minggu. Hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat hilir mudik mengitari Kampus. Bunga tidak habis pikir pada mereka yang mau maunya menjadi budak kampus. Toh rektor tidak akan membayar mereka. Kenal pun tidak. Bunga melangkahkan kakinya menuju Kampus. Meski terasa berat. Ia memilih menggunakan lift meski hanya untuk ke lantai tiga. Mukanya masih bersungut-sungut menunjukkan kekesalannya atas perbuatan dosen sok suci itu. Ia bersumpah akan memakinya langsung jika nanti bertemu. Tak peduli ia adalah dosen. Toh umur mereka tidak jauh berbeda. Dulu saja bunga pernah menampar laki laki paruh baya karena tidak mau membayar setelah Bunga menemaninya. Kenapa dengan laki-laki ini tidak. Bunga tiba di depan ruangan dosen 5 menit sebelum waktu pertemuan. Ia merasa menang karena berpikir dosen muda sok suci itu belum datang. Tapi dugaannya salah, selang beberapa detik Bunga merasakan kemenangan, dosen itu keluar dari kotak kecil di sudut ruangan yang biasa digunakan para dosen untuk sholat. Muka Bunga kembali bersungut-sungut. Bunga dibiarkan menunggu beberapa lama, membuatnya semakin kesal. Tapi dosen muda itu terlihat biasa saja. Seperti sengaja untuk tidak menyadari bahwa Bunga telah kesal karena dibuatnya lama menunggu. Tiga puluh menit sudah berlalu. Bunga memberanikan diri masuk ke ruangan dosen itu karena sudah merasa dirugikan waktu.
“Permisi, Pak” Laki-laki itu mengangguk tanda mempersilakan Bunga masuk.
“Maaf Pak tapi ini sudah tiga puluh menit setelah jadwal pertemuan kita, Pak”
“Oh ya? Wah maaf mbak, saya lupa”
Bunga ingin sekali meneriaki dosen muda sok suci itu. Tapi ia masih menghargainya sebagai dosen. Setidaknya biar hanya beberapa tahun saja laki-laki itu tetap lebih tua darinya. Bunga tersenyum kecut.
“Jadi gimana, Pak? Saya jadi bimbingan kan?”
“Karena ini sudah selesai jam kerja, baiknya gimana mbak?”
“Yah masa gak jadi lagi, Pak. Ini sudah tertunda dua minggu, Paaak”
Tanpa disadari Bunga merengek manja kepada dosen muda itu. Mengeluh kesal karena bimbingannya sudah mundur dua minggu dari yang dijadwalkan. Bunga sangat kesal dan merasa dipermainkan. Melihat kekesalan di wajah Bunga, dosen muda itu mencoba menawarkan pilihan.
“Saya tahu ini kurang etis, tapi saya juga tidak enak karena telah merugikan waktu Mba Bunga. Kalau bersedia, bimbingan kita laksanakan di luar kampus saja. Kebetulan setelah ini saya mau ke Kafe sebrang jalan itu. Coklat panasnya enak”.
Bunga tersentak. Ini yang paling ia hindari. Pergi keluar dengan stakeholder kampus. Apalagi dosen pembimbingnya sendiri. Ia takut dicap sebagai Ayam Kampus kelas kakap sampai berani menyuap dosen.
“Tenang, ini tidak lebih dari sekedar bimbingan. Setelah 30 menit, Mba Bunga boleh pulang”.
Bunga menghela nafas lega. Dosen muda itu seolah bisa membaca isi kepalanya. Ya. Cuma dia satu-satunya warga kampus yang mengetahui pekerjaan sampingan Bunga sebagai entertainer. Begitu Bunga mengakuinya. Beberapa bulan lalu mereka tidak sengaja bertemu di sebuah hotel berbintang di Kota Semarang. Saat itu dosen muda itu hendak menemui ibunya yang sedang berkunjung ke Semarang. Dan sejak saat itu ternyata dosen muda itu menjadi lebih sering memperhatikan Bunga. Lebih dari perhatian dosen terhadap mahasiswanya. Sejak saat itu pula Bunga merasa kesal karena merasa diikuti dan selalu menyebut dosen muda itu dosen sok suci. Karena setiap kali bimbingan dosen itu selalu mencoba menasihati Bunga agar ia segera keluar dari lingkaran hitam itu. Sebenarnya Bunga adalah anak yang cerdas. Ia pernah mendapatkan beasiswa dari Kampus sebelum negara api menyerang. Ipk nya pun terbilang bagus. Selalu di atas rata-rata. Tulisan-tulisannya sering dimuat di majalah kampus. Pemikirannya kritis. Hampir tidak menggambarkan sosok seorang wanita penghibur yang kebanyakan ditemui.
***
Rumah Coklat
“Tulisanmu sudah cukup bagus, untuk isinya saya selalu suka dengan cara kamu menyampaikan gagasan kamu dengan teori dari Freud. Jadi, kembali dengan bab tiga dan rapihkan ini sekali lagi.”
“Jadi bab dua saya acc, Pak?”
“Iya, Mbak”
“Alhamdulillaaah”
Dosen muda itu kaget. Sampai tersedak dan menumpahkan sedikit minuman yang sedang ia pegang.
“Memangnya kenapa Pak kalau saya bilang Alhamdulillah? Agama saya islam kok”.
Bunga mengucapkan kalimat kedua dengan sedikit terbata. Ia menyadari bahwa mungkin saja keislamannya hanya sebatas yang tertera di dalam KTP. Selebihnya entahlah, bahkan beberapa tahun terakhir ini Bunga tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai umat islam. Bahkan ia tetap menemui pelanggan siang hari saat bulan Ramadhan. Suasana menjadi lengang. Mereka berdua terlihat kikuk. Di luar hujan turun sangat deras. Beruntung hujan turun setelah sesaat mereka tiba di Kafe. Sedari tadi Bunga belum memesan apapun karena ia berjanji setelah tiga puluh menit akan kembali pulang. Tapi nyatanya hujan sore ini menahannya untuk segera pulang. Hanya akan menantang maut jika Bunga tetap nekat menerjang hujan badai seperti ini.
“Coklat klasik di sini enak. Recommended sekali” Dosen itu mencoba memecahkan keheningan diantara mereka.
“Tapi kenapa Bapak tidak memesan coklat klasiknya?”
“Ah, saya hanya ingin mencoba hal yang baru".
....
To be continue
Komentar
Posting Komentar